Oleh: Eka prasetiawati
A.Pengertian Qira’at Al-qur’an
Menurut bahasa, Qiraat قراءات adalah bentuk jamak dari qira’ah قراءة yang merupakan isim masdar dari qaraa قرأ yang artinya : bacaan.
Pengertian Qiraat menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut antara lain:
Imam Al-Zarkasyi: “Qiraat yaitu perbedaan lafaz-lafaz al Quran dalam hal penulisan hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfîf, tsaqîl, dan lain-lain.”
Al-Zarqani: Madhab atau cara mengucapkan al-Qur’an yang diikuti oleh seorang ahli Qira’at yang berbeda dengan yang lainnya.Dimana riwayat dan jalan memperolehnya sama, perbedaan itu menyangkut pengucapan huruf ataupun pengucapan bentuknya.
Ibnu al-Jazari: Ilmu yang mempelajari tata cara pengucapan redaksi al-Qur’an dan perbedaannya dengan menyandarkan bacaan tersebut kepada perawinya.
Imam al-Qatalani: ilmu yang mempelajari hal yang disepakati/diperselisihkan ulama’ menyangkut bahasa, i’rab, hadzaf, memisah, menyambung secara naql/riwayat.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu Qiraa’at adalah ilmu riwayat atau yang berdasarkan penukilan dari ahli Qira’at secara bersambung sampai kepada Nabi Saw. Tidak ada unsur ijtihad dalam ilmu ini hal ini dikarenakan semua bacaan berdasarkan ucapan dari mulut ahli qira’at secara berkesinambungan.
Fokus/objek ilmu Qira’at adalah redaksi/cara membaca al-Qur’an berbeda dengan ilmu tafsir yang membahas mengenai makna dari ayat-ayat al-Qur’an.
B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan ilmu Qira’at ini dimulai dengan adanya perbedaan pendapat tentang waktu mulai diturunkannya Qira’at. Ada dua pendapat tentang hal ini:
Pertama,Qiraat mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al Quran. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Quran adalah Makiyah di mana terdapat juga di dalamnya Qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa Qiraat itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah. Kedua, Qiraat mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al Quran dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebut terletak di dekat kota Madinah.
Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makiyah juga dalam tujuh huruf.
Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu Qira’at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai Qiraat yang ada.
Periwayatan dan talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh merupakan kunci utama pengambilan Qira’at secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabatnya.
Para sahabat berbeda-beda ketika menerima Qira’at dari Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut. Qiraat orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain,sebagaimana mereka mengambil qiraat dari sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda dalam mengambil Qiraat dari Rasulullah SAW.
Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli Qiraat, antara lain adalah : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari. Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa Qiraat masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil Qiraat dari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang berbedabeda dalam mengambil Qiraat dari para Tabi’in.
Ahli-ahli Qiraat di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli Qiraat yang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah. Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir. Sementara Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah. Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d.
Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam Qiraat tertentu dan mengajarkan Qiraat mereka masing-masing. Pedoman dasar bacaan dan pelajarannya langsung bersumber dari Nabi Saw. Serta para sahabat yang hafal Al Quran . Pada perkembangan berikutnya, al Quran justru tertata lebih karena kholifah usman berinisiatif untuk menyalin mushaf dan dicetak lebih banyak untuk kemudian disebarkan kepada kaum muslimindi berbagai kawasan. Langkah ini ditempuh oleh utsman bin affan karena pada waktu itu terjadi perselisihan diantara kaum muslimin tentang perbedaan bacaan yang mereka terima, maka dengan dasar inilah sejarah awal terjadinya perdebatan Qiraat yang kemudian dipadamkan oleh Utsman bin Affan dengan menyalin mushaf itu menjadi satu bentuk yang sama dan mengirimnya ke berbagai daerah.
Dengan cara seperti ini maka tidak akan ada lagi perbedaan, karena seluruh mushaf yang ada di daerah-daerah kaum muslimin semuanya sama, yaitu mushaf yang berasal dari kholifah utsman bin affan. Setelah masa itu, maka muncullah para qurra’ (para ahli dalam Membaca Al Quran), merekalah yang menjadi penutan di daerahnya masing-masing dan dari bacaan mereka dijadikan pedoman serta cara-cara membaca Al Quran.
C. Macam-Macam Qira’at Al-Qur’an
Ibn al-Jazari, sebagaimana dinukil oleh al-Suyuti, menyatakan bahwa qiraat dari segi kualitas dapat dibagi menjadi 6 macam, yaitu
Qiraat Mutawatir adalah qiraat yang diriwayatkan oleh orang banyak dari banyak orang yang tidak mungkin terjadi kesepakatan diantara mereka untuk berbuat kebohongan. Contohnya ialah Qiraat yang telah disepakati jalan perawiannya dari imam qiraat Sab’ah.
Qiraat Masyhur adalah Qiraat yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh beberapa orang yang adil dan kuat hafalannya, serta sesuai dengan salah satu rasam Usmani; baik qiraat itu dari para imam qiraat sab’ah, atau imam qiraat asyarah ataupun imam-imam lain yang dapat diterima qiraat-nya dan dikenal di kalangan ahli qurra’ tidak syadz, hanya saja derajatnya tidak sampai kepada derajat Mutawatir. Qira’at ini banyak dijumpai dalam kitab al-taisir karya ad-Dani, al-Qashidah karya Syatibi.
Qiraat Ahad adalah qiraat yang sanadnya sahih tetapi menyalahi tulisan rasm Utsmani dan kaidah bahasa Arab. Qiraat ini tidak boleh dipakai untuk membaca al Quran dan tidak wajib meyakininya sebagai al-Quran. Contohnya riwayat al-Hakim al-Jahdiri bahwa Nabi membaca ayat:
متكئين على رفارف حضروعباقري حسان
Qiraat Syadz adalah qiraat yang sanadnya tidak sahih. Hukum qiraat ini tidak boleh dibaca di dalam maupun diluar sholat. Contohnya: malaka yaumad din
Qira’at maudhu’/palsu seperti qiraah al-Khaza’i, bahkan al-Suyuti menambahkan qira’at mudroj yakni ada sisipan pada bacaan dg tujuan penafsiran. Contoh: walahu akhun au ukhtun min ummin.
Dilihat dari segi kuantitas, qira’at terbagi menjadi tiga macam yaitu:
Qira’at sab’ah (qir’at tujuh) adalah imam-imam qira’at yang tujuh yakni Abdullah ibn Katsir, Nafi’ bin Abu Na’im,Abdullah ibn Amir, Abu ‘Amr al-Basri, Hamzah bin habib al-zayat, Ashim bin Abi Najud, dan Al-Kisa’i.
Qira’at ‘Asyarah (qira’at sepuluh) adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah lagi dengan tiga imam qira’at berikut yakni Abu Ja’far yazid,Ya’qub bin Al-Hadhrami, dan Khallaf bin Hisam.
Qira’at Arba’at Asyarah (qira’at empat belas) adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan diatas di tambah dengan empat imam qira’at berikut yakni Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin ‘Abdirrahman (dikenal dengan Ibn Muhaisin)Yahya’ bin Al-Mubarak Al-Yazidi dan Abu Al-Farj Muhammad al-A’masyi.
Murid-murid Imam Kisaa’i adalah al-Lais dan Hafsh al-Duuri, murid Hamzah adalah Khalaf dan Khallad, murid ‘Ashim al-Kufi adalah Syu’bah dan Hafs, Abdullah bin ‘Amir muridnya adalah Hisyam, Abu’Amr al-Basri muridnya adalah al-Duuri dan Susi.
Alasan mengapa disebut qira’ah sab’ah adalah:
-Ketika khalifah Usman mengirim ke berbagai daerah yang berjumlah tujuh dan masing-masing disertai dengan ahli qiraah yang mengajarkan dan masing-masing disertai dengan ahli qira’ah yang mengajarkan. Nama sab’ah berasal dari jumlah qurro’ yang mengajarkannya yaitu tujuh orang.
-Tujuh qira’at berasal dari qira’at yang sama dengan tujuh cara(dialek) bacaan diturunkannya al-Qur’an.
D. Alasan munculnya qira’ah sab’ah yaitu:
Banyaknya riwayat tentang qira’at yang beredar di masyarakat sehingga rancu bagi masyarakat awam.
Adanya mushaf usmani yang tidak berharakat, sehingga menjadi pintu masuk bagi kalangan ahli bid’ah untuk membaca sesuai dg apa yang mereka kehendaki tapi melihat sahihnya sanad.
Menurunnya semangat untuk mempelajari qira’at dengan banyak qira’at sehingga diperlukan penyederhanaan dlm periwayatan.
E. Kriteria Qira’at yang Diterima & Ditolak
Syarat qira’at yang diterima oleh ulama’ antara lain sbb:
Bacaan harus mutawatir dan mashur dikalangan ulama’ qira’at yaitu bacaan tersebut diriwayatkan oleh banyak orang dari banyak orang dan seterusnya sampai kepada Nabi saw.
Kaidah qira’at harus sesuai dengan rasm usmani, sebab para sahabat sepakat apa yang tidak tertera dalam mushaf usmani dianggap bacaan yang tidak mashur walaupun bacaan tersebut ada dalam kitab hadist yang sohih karena para sahabat sudah sepakat dengan rasm usmani.
Kaidah qira’at harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, karena al-Qur’an berbahasa Arab.
Qira’at bisa diterima jika memenuhi 3 syarat diatas dan bacaan tersebut wajib diterima sebagai bacaan yang sohih baik berasal dari imam 7, 10. Sebaliknya jika salah satunya tidak terpenuhi seperti tidak sesuai dengan rasm usmani, atau tidak sesuai bahasa Arab, dan tidak mashur maka bacaan tersebut tidak dapat diterima dan dianggap syadz.
F. Hikmah Qira’at Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan ‘Alquran diturunkan dalam tujuh huruf” ialah memberi isyarat kepada umat bahwa mereka diberi kelonggaran untuk membaca al-Quran sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka, dan ini sesuai dengan hadits:
ان هذا القران أنزل على سبعة أحرف فاقرؤو ما تيسر منه
Artinya:”Sesungguhnya Al-Quran diturunkan atas tujuh huruf, maka
bacalah olehmu apa yang mudah darinya.”
Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an.Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal diturunkannya al-Qur’an,dimana mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan sebagainya. Apabila al-Qur’an itu diturunkan dalam satu qiraat saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku lain yang berbeda bahasanya dengan al-Qur’an.
Membuktikan terpeliharanya al-Qur'an dari perubahan dan penyimpangan
Menghindari perbedaan pendapat tentang qira’ah al-Qur’an
Meningkatkan pemahaman pengetahuan qira’at, contohnya: Misalnya, dalam surat Al-Baqarah:222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan seksual tatkala istrinya sedang haid, sebelum haidnya berhenti. Sementara qira’at yang membacanya dengan “yuththahhirna” (didalam mushaf Ustmani tertulis “yuthhurna, dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar