Investasi akhirat melaui zakat profesi

Definisi  Zakat, Profesi  dan Zakat Profesi
Oleh: Eka Prasetiawati













1.  Definisi Zakat

Zakat  menurut etimologi (bahasa) adalah suci, tumbuh, berkembang, dan berkah. Pendapat ini juga didukung oleh al-Raghib al-isfahani, dalam “Mu’jam mufradat li alfadz  al-Quran”. Artinya bahwa orang yang mengeluarkan zakat itu adalah orang yang hatinya bersih dan suci dari sifat kikir dan tamak. Kesucian dan kebersihan ini akan didapatkan setelah melaksanakan kewajiban membayar zakat.
Sedangkan menurut terminologi, zakat adalah  kadar  harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan syarat tertentu. Ada yang mengartikan zakat adalah kewajiban harta yang spesifik, memiliki syarat tertentu,  alokasi tertentu dan waktu tertentu. Zakat dalam ajaran Islam, yaitu harta tertentu yang wajib dikeluarkan seseorang untuk fakir miskin dan sesuai dengan perintah syara’. Ada juga yang menjelaskan bahwa zakat juga sering disebut dengan ibadah kebendaan dan sosial kemasyarakatan (maliyah ijtima’iah).
Di sisi lain, zakat diistilahkan dengan shadaqah atau infaq. Sebagian ulama fiqh mengatakan bahwa shadaqah wajib dinamakan zakat, sedangkan shadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.

2.  Definisi Profesi

Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata profesi berarti perkerjaan yang dilandasi oleh pengetahuan dan pendidikan tertentu. Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran, dan sebagainya).
Pada  zamam sekarang ini orang mendapatkan uang dari pekerjaan dan profesinya. Jadi pekerjaan yang menghasilkan uang itu ada dua macam. Pertama, adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain, seperti seorang dokter yang mengadakan praktek, pengacara, seniman, penjahit dan lain-lain. Kedua,  pekerjaan yang dikerjakan untuk  pihak lain dengan imbalan mendapat upah  atau honorarium seperti pegawai negeri/swasta.  Hasil profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dll) merupakan sumber pendapatan yang tidak banyak dikenal di masa salaf (generasi terdahulu).

3.  Definisi  Zakat Profesi

Dengan demikian yang dimaksud zakat profesi adalah sejumlah harta yang diperoleh dari keterampilan tertentu (profesi) yang wajib dikeluarkan dengan ukuran tertentu bagi yang berhak menerimanya sesuai dengan syara’. Harta yang diperoleh dari kegiatan sektor jasa dan harta perniagaan, sering juga disebut dengan zakat profesi.
Zakat Hasil Profesi
Untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam tentang  zakat  hasil profesi, MUI Propinsi DKI Jakarta memfatwakan:
Uang (harta benda) yang diperoleh orang Islam dari profesi yang halal seperti profesi sebagai dokter, advokat, notaris, akuntan, konsultan, dosen dan mubaligh (penceramah) baik berasal dari gaji, honoranium, upah, komisi, uang jasa, hadiah maupun yang lain (kasb al-‘amal wa al-minhah al-hurrah) jika telah mencapai nisab wajib dibayarkan zakatnya. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil yang bersumber dari nash-nash al-Quran dan al-Hadist sebagai berikut:

“Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (Al-Nur: 56).

Zakat  profesi  tidak dikenal pada masa klasik. Dengan demikian, para ulama masa kini (kontemporer) melakukan ijtihad dengan cara menganalogikan dengan zakat-zakat yang sudah dikenal, seperti: zakat hasil perdagangan,  hasil pertanian, harta rikaz, dan rampasan perang, dan lain-lain. Namun hal ini belum ada suatu ketentuan yang disepakati bersama.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan nishab, haul, dan kadar zakat (prosentase) zakat profesi dalam tiga pendapat sebagai berikut:
Pendapat ulama yang menganalogikan zakat hasil profesi dengan zakat hasil perdagangan. Yang dinamakan harta dagangan adalah harta yang dimiliki dengan  akad  tukar dengan tujuan memperoleh laba, dan harta yang dimilikinya harus merupakan hasil usahanya sendiri. Kalau harta yang dimilikinya itu merupakan harta warisan, maka ulama madzhab secara sepakat tidak menamakannya harta dagangan. Zakat dagangan wajib menurut empat madzhab, tetapi menurut Imamiyah adalah sunnah.
Pendapat ini didukung oleh  Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya “Fiqh al-Zakat”. Menurut pendapat  sahabat Ibnu Abbas, Ibnu Masud,  Atha’, Baqir dan Thariq, jika penghasilan (gaji, honor, bonus, dan sebagainya) seseorang dari profesi sekali menerima telah mencapai satu nisab, maka seketika itu wajib dibayarkan zakatnya tanpa menunggu satu tahun. Pendapat sahabat Ali, ‘Aisyah dan Qasim, yang tetap mensyaratkan satu tahun walaupun mencapai satu nisab dalam sekali terima. Faktor yang menyebabkan perbadaan dalam masalah haul ini adalah hadist yang diriwayatkan sahabat ibn Umar:

عن نافع أن عبد الله بن عمر كان يقول لا تجب في مال زكاة حتى يحول عليه الحول

“Dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar berkata: tidak wajib mengeluarkan zakat dari harta yang belum sampai setahun.”

Pendapat para ulama yang menganalogikan zakat hasil profesi dengan zakat hasil pertanian. Menurut mereka, zakat hasil profesi kurang tepat  kalau diqiyaskan dengan hasil perdagangan. Sebab dalam zakat perdagangan, semua kekayaan baik modal maupun keuntungan diperhitungkan zakatnya. Sedang dalam zakat profesi hanya hasilnya saja. Oleh karena itu, mereka lebih cenderung untuk mengqiyaskannya dengan zakat hasil pertanian, karena keduanya memiliki kesamaan bahwa yang diperhitungkan zakatnya hanya  hasilnya saja, sedang modalnya tidak, sesuai dengan firman Allah dalam surat al-An’am ayat 141:
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Jika penghasilan dari gaji, honor, komisi, uang jasa dan sebagainya kurang dari satu nisab, maka jumlah penghasilan tersebut supaya dihitung dan dikumpulkan dengan penghasilan pada  waktu-waktu  berikutnya sampai satu tahun. Sesudah satu tahun, jika penghasilan tersebut mencapai nisab wajib dibayarkan zakatnya.

  Pendapat  para ulama yang menganalogikan zakat hasil profesi dengan zakat harta (rikaz) dan  zakat harta rampasan perang (ghanimah). Oleh karena itu, seseorang yang memeperoleh penghasilan dari kerja (profesi) harus mengeluarkan zakat sebanyak 20%. Pendapat ini dipelopori oleh para ulama Syi’ah. Pertimbangan mereka dalam menganalogikan zakat profesi dengan  hasil ghanimah, karena keduanya sama-sama mudah mendapatkan penghasilan yang banyak dan tidak ada resiko kerugian seperti yang terjadi pada perdagangan dan pertanian. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt  dalam surat al-Anfal 41:
 “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Zakat penghasilan atau profesi tersebut di atas termasuk masalah ijtihadi, yang perlu dikaji dengan seksama menurut pandangan hukum syariah dengan memperhatikan hikmah zakat dan dalil-dalil syar’i yang berkaitan dengan masalah zakat. Menurut Masfuk Zuhdi, semua macam penghasilan tersebut terkena wajib zakat, berdasarkan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 267:
 “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.”
Berdasarkan ketentuan surat al-Baqarah  tersebut yang mengandung pengertian umum, asal penghasilan tersebut telah melebihi kebutuhan pokok hidupnya dan keluarganya yang berupa sandang, pangan, papan, beserta alat-alat rumah tangga, alat-alat                                                                                                                                                                                         usaha, kendaraan dan sebagainya yang tidak bisa diabaikan. Bebas dari beban hutang, baik terhadap Allah seperti nadzar haji yang belum ditunaikan maupun terhadap sesama manusia.

Landasan  Syar'i  Zakat Profesi

Al-Qur’an
وَفِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ١٩
"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Az-zariyaat : 19).
ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَأَنفِقُواْ مِمَّا جَعَلَكُم مُّسۡتَخۡلَفِينَ فِيهِۖ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَأَنفَقُواْ لَهُمۡ أَجۡرٞ كَبِيرٞ
"…Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya …" (QS. Al Hadid : 7).
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بِ‍َٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ "Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, …"QS. Al Baqarah : 267
Ayat diatas  menunjukan lafadz  atau kata yang masih umum, dari  hasil usaha apa saja, "…Infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, …" dan dalam  ilmu fiqh terdapat kaidah "Al "ibrotu bi umumi  lafdzi la bi khususi sabab", "bahwa ibroh (pengambilan makna)  itu dari keumuman lafadz,  bukan dengan  kekhususan sebab." Dan tidak  ada  satupun ayat  atau  keterangan lain yang memalingkan makna keumuman hasil usaha tadi, oleh sebab itu profesi atau penghasilan termasuk dalam kategori ayat diatas.
Al-Hadits Sabda Rasulullah saw. :"Bila suatu kaum enggan mengeluarkan zakat, Allah akan menguji mereka dengan kekeringan dan kelaparan. (HR. Thabrani)

 Pendapat Sahabat dan Tabi'in tentang harta penghasilan
        Para ulama salaf memberikan istilah bagi harta pendapatan rutin /gaji seseorang dengan nama "A'thoyat", sedangkan untuk profesi adalah "Al- maal mustafad", sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat, diantaranya Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah dan Umar bin Abdul Aziz. Abu 'Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya." Abu Ubaid juga meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz memberi upah kepada pekerjanya dan mengambil zakatnya, …".
Peran  Tafsir  dalam Memaknai Zakat  Profesi

Pada zaman modern sekarang ini, telah muncul berbagai jenis profesi baru yang sangat potensial dalam menghasilkan kekayaan dalam jumlah besar yang belum dijelaskan ketentuan zakatnya secara sharih (jelas) dalam Alquran, al-sunnah, dan kitab-kitab klasik. Begitu juga dengan  alat-alat berteknologi canggih yang berproduktivitas tinggi. Sehingga memerlukan fatwa para ulama kontemporer.  Sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat al-Qur’an sehingga bermunculanlah berbagai penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Sehingga tidak ada salahnya kita memperbaharui hukum yang lama demi kemaslahatan manusia.
   Ulama-ulama kita tidak bisa sepakat dalam menentukan status zakat profesi itu sebenarnya. Apakah termasuk zakat perdagangan, pertanian, atau  yang lain. Ini terjadi, karena memang di zaman Rasulullah Saw dan para sahabat profesi yang dikenal sekarang tidak dijumpai. Makanya masalah zakat, hanya berkutat pada perniagaan, pertanian, harta rampasan perang, dan harta temuan (rikaz). Al-Qur’an pun secara sharih tidak menjelaskannya. Hal ini bukan berarti al-Qur’an tidak merespon masalah profesi ini. Oleh sebab itu lah, para ulama khalaf (kontemporer) berusaha menganalisis dan pada akhirnya menentukan status dan  hukum dari zakat profesi tersebut. Tentunya mereka berdasarkan isyarat-isyarat dalil syar’i dan semangat nilai-nilai agama secara umum. Yaitu dengan mengggunakan qiyas. Baik qiyas al-‘Aqli maupun qiyas al-Syar’i. Kedua qiyas itu dapat digunakan untuk berargumentasi.

Satu-satunya cara yang mereka terapkan  adalah analogi (qiyas). Dengan analogi itu lah kesimpulan yang mereka dapatkan  berbeda-beda tergantung  pada alasan masing-masing. Kesadaran  terhadap kesejahteraan  bersama tiap-tiap mujtahid  juga mempengaruhi hasil ijtihad mereka. Jadi disini masih terdapat perbedaan pendapat tentang besarnya zakat profesi. Ada yang mengelompokkan zakat profesi ini dalam pertanian, perdagangan, dan  ghanimah/rikaz.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa zakat profesi ini mempunyai penghasilan yang lebih banyak. Misalnya seperti sektor jasa dokter, arsitek, notaris, pengacara, seniman, pegawai negeri, pegawai swasta, dan  sektor perniagaan (perhotelan, restoran, swalayan, galeri dsb). Mereka bekerja lebih ringan sudah mendapat uang banyak sekali. Sedangkan selama ini zakat mal hanya berkisar pada tanaman, buah, dan hewan ternak. Itupun belum semuanya, kitab –kitab fiqh hanya menyebutkan beberapa saja yang kebetulan pada zaman dahulu sudah ada. Seiring dengan perkembangan zaman dimana teknologi berkembang pesat sudah seharusnya dilakukan rekonstruksi terhadap  hukum Islam, terutama masalah zakat ini.  Agar tidak terjadi kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Para pengusaha, para konglomerat, pejabat negara, dokter  sudah seharusnya mempunyai kewajiban mengeluarkan zakat pertahunnya. Mereka hidup tidak kekurangan bahkan berlebihan. Sehingga kebanyakan dihabiskan untuk berfoya-foya dan dialokasikan pada hal-hal negatif. Para petani yang hidup pas-pas an dikenakan zakat. Bagaimana mungkin mereka yang kaya- raya tidak sama sekali, hanya karena tidak disebutkan  dalam kitab-kitab ulama terdahulu.
Maka penulis setuju sekali dengan adanya  pembaruan hukum terhadap zakat profesi ini, para ulama’ menganalogikan dengan qiyas pada pertanian (5-10%), perdagangan (2,5%), atau pada rikaz (20%). Meskipun belum ada kesepakatan , tapi sudah membuka mata kita bahwa mereka seharusnya menyadari untuk mengeluarkan zakat, infak, dan sadaqah. Supaya tidak terjadi kesenjangan antara si kaya dan miskin. Supaya sosial ekonomi umat Islam juga mendapat perhatian, bukan yang kaya semakin kaya dan yang miskin dibiarkan begitu saja.
Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar