Analisis israiliyat dalam tafsir samarqondy

Klarifikasi Israiliyat Surat al-Kahfi ayat 28-67
Studi Analisis Penafsiran Tafsir al-Samarqandi





Ada beberapa riwayat tentang israiliyat dalam tafsir Samarqandi diantaranya adalah

1.  Penafsiran  Baqiyatus salihat

harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

ayat ke 46 tersebut Abu Laits mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-baqiyatus salihat adalah sholat lima waktu. Pada penafsiran ini berdasarkan pada riwayat Abi Hasyim dan Masruq. Kemudian pada penjelasan selanjutnya yang masih pada ayat ini, Abu Laits mendasarkan pada riwayat Mujahid dengan penafsiran bahwa yang dimaksud al-baqiyatus solihat yaitu ucapan subhanallah, alhamdulilah, tahlil, serta takbir.
Menurut hemat penulis apa yang dituliskan oleh Abu Laits merupakan penafsiran yang sifatnya sempit, dalam hal riwayat Abu Laits tidak menuliskan secara lengkap. Penulis telah melacak pada hadits yang terakhir di dalam kutub tis’ah tidak ada hadits yang mendukung terhadap riwayat tersebut. Namun dalam konteks pemahaman tafsir tafsir, sebuah hadits yang dhaif boleh dijadikan sebagai fadail a’mal.
Penulis sependapat dengan yang dipaparkan oleh Quraish Shihab bahwa Kalau dipahami secara bahasa dalam kata al-baqiyatus salihat adalah kata yang menunjukkan jama’. Sehingga agaknya dipahami dalam pengertian umum sesuai dengan bentuk jama’ kata tersebut sehingga mencakup aneka amal saleh. Amal-amal saleh tersebut berada di sisi Allah yang pahalanya akan diberikan kelak di akhirat, dan ini berarti dia kekal abadi.

2.    Mengenai Tempat Kebinasaan

dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Dia berfirman: "Serulah olehmu sekalian sekutu-sekutu-Ku yang kamu katakan itu". mereka lalu memanggilnya tetapi sekutu-sekutu itu tidak membalas seruan mereka dan Kami adakan untuk mereka tempat kebinasaan (neraka).

Pada surat al-kahfi ayat ke 52 ini Abu Laits mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tempat kebinasaan adalah Jurang di neraka jahanam hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Mujahid. Dalam pengutipan riwayat tersebut tidak tertulis lengkap. Dan yang dimaksud dengan yang disembah adalah berhala-berhala atau setan.
Thaba’thabai seperti halnya dikutip Qurais Shihab menyatakan bahwa tempat kebinasaan yang dimaksud bukanlah neraka jahanam. Ia mengatakan bahwa maubiq dalam konteks ayat tersebut adalah terputusnya hubungan antara yang disembah dengan yang menyembah. Ketika penyembah hidup di dunia mereka menduga ada hubungan erat antara mereka dengan sesembahannya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas bahwa apa pemisah antara yang disembah dengan yang menyembah. Hal ini diperkuat dengan ayat selanjutnya yakni ayat 53, bahwa mereka melihat neraka. Ini menunjukkan bahwa ketika itu mereka belum berada pada neraka jahannam.

3.  Riwayat Manusia Makhluk Paling Membantah

Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.

Abu Laits mengutip sebuah hadits yang dijadikan sebagai riwayat untuk mendukung ayat tersebut yaitu.
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إلاَّ أُوتُوا الْجَدَلَ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Tidak akan tersesat suatu kaum setelah petunjuk selama mereka masih tetap di atasnya, kecuali orang-orang yang senang berdebat.
Urutan riwayat hadits tersebut adalah
Nabi Muhammad

Abi Amamah

Abi Ghalib

Hajaj Ibn Dinar

Muhammad Ibn Basyir

Ibnu majah

Berdasarkan takhrij hadits yang terdapat dalam kutub tis’ah. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits tersebut merupakan hadits yang shahih tidak ada cacat terhadap para rawinya serta dapat dijadikan sebagai hujjah. Sehingga dalam konteks pengutipan riwayat hadit untuk ayat ini tidak ada kecacatan dalam hal sanad dan matannya.

4.    Kisah tentang Musa

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya : "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun".

Dalam penafsiran fata musa  menurut Abu Laits adalah Yusya’ Ibn Nun. Abu Laits juga mengutip pendapat ahli kitab yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan musa  tersebut adalah Musa Ibn Ifratim Ibn Yusuf Ibn Ya’kub. Selain itu Abu Laits juga mengambil pendapat ahli taurat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan musa adalah Musa ibn Misya ibn Yusuf Ibn Ya’kub.
Sepintas memang Abu Laits banyak mengutip dari Ahli Kitab hal ini terlihat dari beberapa penafsiran tentang musa. Dalam konteks penafsiran selama hal itu tidak bertentangan dengan akidah maupun syara’ riwayat israiliyat juga tidak masalah ketika digunakan. Hal ini adalah sebagai tambahan wawasan tentang pengetahuan terhadap klarifikasi orang yang bersamaan dengan Nabi Musa.
Namun penulis berpendapat bahwa kutipan dari riwayat ahli kitab tersebut lemah. Hal ini dikarenakan tidak kurang dari 130 kali al-Qur’an menyebut Musa, dan kesemuanya tertuju pada putra nabi Imran, Nabi agung yang menghadapi Imran itu. Dan ketika yang dimaksud disini selain itu, tentulah ada inkator yang menunjukkannya.
Semoga Bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar